Skip to main content

Cerita Saya tentang Mata Kering Tanpa Harus ke Dokter

Saya masih ingat betul pagi itu. Embun dingin menyapa hangatnya kopi tubruk di tangan saya, sementara Gunung Prau perlahan menampakkan siluetnya. Sejak awal perjalanan, semangat menulis dan memotret tak pernah surut—saya yakin cerita baru selalu menanti di setiap lekuk kabut. Namun, tiba-tiba, layar laptop saya kabur. Bukan karena sinyal buruk atau baterai menipis, tapi karena mata kering saya menjerit.

Rasa sepet datang lebih dulu. Seperti ada jutaan butir pasir menempel di kelopak. Diikuti perih, seakan setiap kedipan menyayat. Dan yang paling menyesakkan: lelah, yang bukan sekadar capek badan, tapi terasa mencengkram mental. Saya menatap pemandangan indah, tapi mata saya menolak diajak kompromi.

Di sinilah saya belajar satu hal: mata kering jangan sepelein. Saya pernah membaca bahwa mata kering muncul karena terlalu lama menatap layar, cuaca dingin di ketinggian, dan kurangnya jeda istirahat. Tapi rasanya berbeda ketika gejala itu datang langsung di tenggorokan—saya hampir melewatkan momen matahari terbit.

Kala itu saya teringat saran seorang teman: “Kalau gejala muncul, jangan tunggu parah, tetesin Insto Dry Eyes.” Saya sempat ragu; obat tetes mata sepele apa yang bisa jadi penyelamat? Namun, setelah mencarinya di mini market di kaki gunung, saya menyerahkan diri pada botol kecil itu—betapa pun sepele, saya butuh keajaiban.

Di Balik Panorama, Ketika Gejala Memburu

Saya mulai menulis di beranda penginapan, berharap inspirasi datang. Tapi setiap baris kata terhenti oleh rasa perih. Ingatan tentang cerita senja di Jogja dan aroma sate klathak menguap, tergantikan oleh irama napas saya sendiri. Mata menolak bekerja, dan saya cuma bisa memejamkan kelopak, berharap nyeri mereda.

Rasa sepet itu seperti bisikan halus yang berkata, “Sudah cukup.” Saya ingat bagaimana di Lombok, saya pernah meremehkan sinyal tubuh. Hasilnya? Saya kehilangan beberapa hari karena radang mata yang tak kunjung berhenti berair. Kali ini, saya menolak mengulang kesalahan yang sama.

Dalam hati saya bergumam, “Sepele, katanya. Tapi nyatanya, ini bisa menghentikan langkah.” Saya merasa seakan terkurung, di antara keindahan alam yang terbatas oleh pandangan buram. Jari-jemari tetap bergerak mengetik, meski kecepatan berpikir melambat drastis. Lelah saya bukan lagi tentang perjalanan, tetapi tentang ujian kesabaran mata.

Sambil menahan sakit, saya membuka tas, merogoh botol Insto Dry Eyes. Saya teteskan satu demi satu ke setiap mata, menutup kelopak, dan menunggu. Dalam hening, saya membayangkan kilau embun di daun, warna biru langit yang menua jadi jingga. Lambat laun, sensasi dingin menyentuh kornea—seperti oase di padang pasir.

Tak lama kemudian, ketajaman kembali pulih. Rasa perih mereda menjadi kenangan samar. Lensa dunia terbuka lagi, dan saya bisa menuliskan ulang kalimat-kalimat terindah. Dalam hitungan menit, saya bangkit, menatap layar dengan lega—tanpa harus ke dokter, tanpa antre di klinik.

Menulis Kembali Dunia, Insto sebagai Sahabat Perjalanan

Sejak momen itu, saya memanggul Insto Dry Eyes sebagai teman perjalanan. Bukan sekadar ‘obat’, tapi sahabat kecil yang siap menyelamatkan produktivitas. Setiap kali gejala mata kering mengintai—Sepet, Perih, Lelah—saya tak lagi panik. Saya tahu satu botol Insto bisa jadi titik balik.

Dalam jejak-jejak perjalanan saya, dari heningnya Danau Toba hingga gegap gempita pasar Pasar Terapung Banjarmasin, rutinitas ini selalu saya ulang:

  • Kedipan Sadar
    Di basecamp Merbabu, saya sadar sudah terlalu asyik menyusun rencana. Sebelum mata benar-benar menjerit, saya sengaja berkedip lebih sering—mengisi kembali cairan alami.

  • Istirahat Singkat
    Di antara trekking dan menulis, saya meluangkan waktu lima menit untuk memejamkan mata. Momen hening ini menyegarkan otot mata, dan semangat menulis terasa kembali.

  • Sahabat Botol Kecil
    Saya tidak pamer, tapi Insto Dry Eyes ada di semua kantong—jaket, tas kamera, bahkan saku celana. Kecil, ringan, dan efektif. Saat di Palembang, ketika AC dalam bus perjalanan membuat udara kering, saya tinggal tetesin Insto Dry Eyes.

Saya pun sering berseloroh pada teman sesama traveler: “Obat rahasia saya? Sepele, tapi ampuh.” Karena memang, solusi tak harus rumit—kadang yang sepele justru memberi dampak besar.

Menjaga Mata, Menjaga Cerita

Kini, tiap kali mata saya mulai memberi sinyal, saya mendengar bisikan lembutnya: “Jangan anggap remeh.” Saya menaruh botol Insto Dry Eyes di meja kerja, lalu menutup laptop sejenak. Saya tahu, kesehatan mata adalah kunci agar cerita bisa terus mengalir.

Kepada kamu yang gemar menjelajah dan menulis, ingatlah satu prinsip sederhana: mata kering jangan sepelein. Saat Sepet, Perih, atau Lelah mulai tampak, berikan jeda, berkedip lebih sering, dan tetesin Insto Dry Eyes. Biar di ketinggian gunung, di tepian pantai, atau di balik balkon hostel, mata tetap jernih, cerita pun mengalir tanpa hambatan.

Karena pada akhirnya, menjaga jendela dunia kita, mata adalah menjaga agar kisah hidup tidak pernah pudar di tengah perjalanan. Dengan Insto Dry Eyes, saya kembali menulis dunia dengan mata yang penuh semangat dan jiwa yang lapang.

Comments

Popular posts from this blog

Menulis Kreatif sebagai Ladang Penghasilan: Sebuah Perjalanan Inspiratif

  Bayangkan suatu pagi yang tenang. Dengan secangkir kopi di meja, kamu menatap layar kosong di laptop. Jari-jarimu mulai mengetik, menciptakan dunia baru dari kata-kata. Tak ada bos yang memarahi, tak ada aturan kantor yang mengikat—hanya kamu dan imajinasimu yang mengalir bebas. Inilah impian banyak orang, menghasilkan uang dari menulis kreatif. Tapi, bagaimana caranya? Menemukan Jalan di Dunia Menulis Dulu, aku berpikir menulis hanyalah hobi. Aku menulis cerita pendek di blog pribadi, berharap ada yang membaca. Hingga suatu hari, seorang pembaca menghubungiku, menawarkan proyek menulis berbayar. Saat itulah aku sadar: tulisan bisa menjadi sumber penghasilan! Menulis kreatif bukan sekadar merangkai kata-kata. Ini adalah seni menyampaikan perasaan, membangun cerita, dan menyentuh hati pembaca. Permintaannya tinggi, dari artikel hingga novel, dari naskah film hingga konten pemasaran. Dengan tekad dan strategi yang tepat, menulis bisa menjadi karier yang menghasilkan. Bagaimana Menu...

Belajar Menjadi Kreatif: Kisah Inspirasi dari Tokoh Industri Kreatif

  Bayangkan kamu sedang duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, menyesap secangkir kopi sambil mengamati orang-orang berlalu-lalang. Tiba-tiba, sebuah ide brilian muncul di benakmu. Mungkin itu cerita pendek, konsep bisnis baru, atau hanya sebuah perspektif unik tentang dunia. Pernahkah kamu bertanya-tanya, bagaimana caranya menjadi seseorang yang selalu penuh ide dan kreativitas? Para tokoh kreatif seperti Raditya Dika, Ernest Prakasa, atau Najwa Shihab memiliki rahasia tersendiri dalam menumbuhkan kreativitas mereka. Apa yang bisa kita pelajari dari mereka? Menemukan Kreativitas dalam Kehidupan Sehari-hari Dulu, aku merasa kreativitas adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang-orang berbakat. Namun, setelah bertahun-tahun mengeksplorasi berbagai cara, aku menyadari bahwa kreativitas adalah sesuatu yang bisa diasah, seperti otot yang perlu dilatih. Bagaimana caranya? Mari kita lihat bagaimana tokoh-tokoh kreatif membentuk kebiasaan mereka. 1. Menulis Jurnal Seperti Raditya Di...